Saat harga durian mahal saya tidak pernah membelinya. Saat musim durian tiba dan harganya murah, saya tidak tertarik untuk menikmati apalagi membelinya. Alasannya sederhana, karena saya tidak suka durian, titik. Lain ceritanya kalau diberikan gratis, paling tidak saya akan mencicipinya, cuma mencicip saja. Jika dipaksa menerima akan saya bawa pulang, lalu saya berikan kepada orang lain. Sungguh, karena dalam urusan mengkonsumsi durian saya punya kebebasan memilih, dimana orang lain tidak punya kuasa memaksa saya untuk menikmati, apa lagi membelinya. Saya kira kebebasan ini berlaku juga untuk setiap barang ekonomi lainnya (yang harus dibeli) tanpa terkecuali.
Tapi, akh…ternyata asumsi saya salah! Saya teringat waktu Selasa malam (30/11) mengunjungi rekan yang tergolek tidak berdaya di rumah sakit. Ia baru saja menjalani operasi besar pengangkatan tumor dari rahimnya. Betapa pun ia tidak menginginkannya, tindakan operasi pun harus dilakukan. Setelah itu, ia harus menjalani terapi pengobatan yang melelahkan sekaligus menyengsarakan keuangan. Bisa berkali-kali terapi dengan harga yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tidak ada kebebasan memilih, menegosiasi, apa lagi menuntut uangnya kembali bila terapi yang diberikan justru membuat kualitas hidupnya kian terpuruk lagi. Terima, nikmati, atau tahu sendiri akibatnya nanti!
Pasar layanan kesehatan memang tidak sama dengan pasar tradisional. Di pasar Tanah Abang, biasanya pembeli datang dengan niat dan tujuan yang terencana jelas. Wanita yang hobi berburu tas-tas trendy sanggup berkelana dari satu pedagang ke pedagang lain di tanah abang untuk mendapatkan harga termurah tapi dengan model, kualitas, bahkan merek yang sama dengan yang terpajang di butik atau swalayan. Lain halnya kalau Anda kebetulan harus bertandang ke rumah sakit (RS), misalnya saja mengeluhkan rasa nyeri di persendian kaki yang tidak kunjung pergi. Setelah berbincang-bincang dan sentuhan-sentuhan fisik dari tenaga kesehatan (kita sebut saja dokter), Anda mungkin diminta untuk melakukan tes laboratorium atau radiologi canggih. Bisa jadi, saat itu Anda tidak peduli, kenapa tes tersebut harus dilakukan dan berapa biaya yang harus dikeluarkan. Pokoknya percaya, bahwa semua tindakan medis yang ditawarkan adalah demi kesembuhan Anda. Percaya, bahwa kompetensi dokter tersebut dapat memastikan sumber dan cara penyembuhan penyakit Anda. Percaya, jika tidak mengikuti arahannya, malah kian memperburuk kondisi Anda.
Posisi seorang pasien adalah pembeli, yang cuma tahu sedikit terhadap pelayanan yang dikonsumsi. Sedangkan dokter, faham betul kebutuhan pasiennya dan kebutuhan RS tempatnya bekerja. Kesenjangan pengetahuan medis antara pasien dengan dokter yang merawat inilah (asymetry of information), yang kerap merangsang terjadinya tindakan medis yang berlebihan oleh para tenaga kesehatan. Atas nama ketepatan tindakan dengan diagnosa, alasan efisiensi pun terabaikan. Atas nama otoritas profesi dan pengalaman praktik yang panjang, alat-alat canggih dikerahkan dan obat-obat mahal pun diresepkan. Ujung-ujungnya adalah biaya pelayanan kesehatan yang semakin mahal, meskipun hasilnya belum tentu memuaskan.
Sudah banyak korban berjatuhan karena tindakan medis yang berlebihan. Dari seorang mantan konsultan organisasi pekerja se dunia (ILO), Irwanto PhD, hingga Prita Mulyasari yang seorang ibu rumah tangga biasa. Meskipun seorang Doktor, Irwanto tidak seberuntung Prita. Irwanto, harus menerima kelumpuhan permanen, yang mempengaruhi produktifitasnya sebagai kepala keluarga dan Kepala Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya Jakarta. Irwanto pun pernah berupaya mencari keadilan melalui jalur hukum. Namun, setelah beberapa tahun, kasusnya pun larut seperti obat streptokinase yang telah menyebabkannya lumpuh seumur hidup. Pada akhirnya, ia pun menerima kondisnya dan bahkan telah memaafkan dokter yang telah memberinya obat jantung seharga Rp5 juta per ampul tersebut. Sungguh mulia! Bandingkan dengan sikap dokter yang dimaafkannya, tidak ada pernyataan maaf atau rasa bersalah yang keluar dari mulutnya. Demikian pula, para rekan sejawat dan seprofesinya. Lebih banyak pembelaaan atas nama kode etik profesi dan standar operasional prosedur. Padahal, saat kasus ini mencuat di tahun 2004 lalu, seorang profesor ahli bedah syaraf senior dari RSCM pernah mengungkapkan, bahwa tidak ada riwayat serangan jantung pada Irwanto.
Lantas, buat apa korps para dokter membela diri dengan alasan sudah sesuai standar operasi prosedur dan menjaga kode etik profesi? Bukankah mereka sudah disumpahin Hipokrates, bahwa akan menerapkan cara pengobatan untuk kepentingan pasien sesuai dengan penilaian dan kemampuannya, dan akan mencegahya dari bahaya dan kesalahan pengobatan?